Sebuah pesan moral tidak dapat lepas dari sebuah karya sastra, karena karya sastra tidak hanya sebuah karya seni belaka yang menyimpan keindahan semata bagi para pembaca maupun pengarangnya sendiri namun di dalamnya terdapat pesan-pesan sosial yang akan sangat berpengaruh bagi masyarakat. Karena bagaimanapun juga, masyarakatlah yang mengonsumsi suatu karya sastra. Oleh karena itu, apa yang terkandung di dalam suatu novel sedikit banyak mempunyai dampak bagi para pembacanya. Bahkan, karya sastra mempunyai potensi untuk menawarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial baru yang membuka mata para pembacanya.
Novel Bunga Roos dari Cikembang (BRDC), merupakan karya Tionghoa yang dibuat sekitar tahun 1927 oleh Kwee Tek Hoay. Mengisahkan bagaimana hubungan antara etnis Tionghoa (yang pada waktu itu derajatnya lebih tinggi setingkat) dengan pribumi yang menjadi budak para Tionghoa. Cerita ini relatif bersifat heterogen. Hal ini dibuktikan dari latar belakang dan isi ceritanya. Karena politik Belanda, terutama konstruksi sastra Balai Pustaka, cerita ini dianggap sebagai "cerita liar”.
Kebiasaan para pegawai ataupun yang punya perkebunan dari etnis Tionghoa dan Belanda mempunyai nyai, atau istri simpanan.
Pernyaian identik dengan cerita-cerita asli dalam kesusatraan (pra) Indonesia. Pernyaian ketika itu mendapat pengesahan budaya dan sosial dari masyarakat secara umum. Selain sebagai pemuas kebutuhan seksual dan pelayan rumah, nyai dijadikan sebagai sarana pembelajaran budaya Melayu bagi bangsa Eropa untuk melanggengkan kekuasaannya. Nyai sering dijadikan sebagai mediator budaya, sosial, dan politik. Penyaian sendiri juga dikaitkan dengan alasan kesehatan, yakni untuk menghindari penyakit akibat hubungan pelacuran. [....]