Main » 2009»April»24 » Sastra, Abdul Hadi WM, dan Orientasi Penciptaan
15:24:58
Sastra, Abdul Hadi WM, dan Orientasi Penciptaan
Sastra, Abdul Hadi WM, dan Orientasi Penciptaan
Ahmadun Yosi Herfanda
Redaktur dan pelayan sastra
Peran dan keberadaan (eksistensi) Abdul Hadi WM dalam sastra Indonesia
sangat paradigmatik. Dia tidak hanya muncul sebagai penyair dan sastrawan
ternama, tapi juga membawa konsep estetika penting — puitika sufistik — yang
cukup berpengaruh pada perkembangan kesastraan Indonesia pada masanya dan masa
sesudahnya.
Jika kebudayaan adalah sistem nilai, dan kesastraan adalah ekspresi
terpenting kebudayaan, maka Abdul Hadi WM — dengan nilai-nilai esoterik Islam
yang dikembangkannya melalui sastra itu — adalah paradigma kebudayaan
Indonesia. Dia adalah contoh penting dari sedikit sastrawan Indonesia — bersama
Kuntowijoyo, dan Emha Ainun Nadjib — yang dengan gigih mencoba membangun
tradisi penciptaan (sastra) baru yang lebih mencerahkan.
Orientasi penciptaan
Bagaimana sebuah karya sastra dicipta dan bagaimana fungsinya di masyarakat,
sangat tergantung pada komitmen estetik, dan orientasi penciptaan pengarangnya.
Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam
empat orientasi.
Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam.
Kedua, karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada
pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun
pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang
otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.
Pada ‘orientasi kedua Abram, karya sastra dipandang sebagai media
untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatik. Misalnya saja, sastra untuk
pencerahan dan pencerdasan masyarakat, untuk sosialisasi nilai-nilai dan ajaran
agama, untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong
munculnya kesadaran sosial tertentu guna mendorong proses perubahan sosial.
Dalam bahasa tokoh renaisans Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana,
sastra harus memiliki fungsi pencerdasan masyarakat. Dan, karena itu, sastra
tidaklah bisa hanya bermewah-mewah dengan keindahan untuk mencapai kepuasan
seseorang dalam mencipta, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh
pembangunan bangsa. Sastra, harus membuat orang (pembaca) lebih optimis dan
menghadapi hidup dengan semangat juang yang tinggi untuk mengatasi berbagai
masalah dan situasi kritis. Dan, ini dibuktikannya melalui novel Layar
Terkambang serta Kalah dan Menang.
Orientasi yang cenderung pragmatik itu juga terlihat pada sajak-sajak
patriotik Rabendranat Tagore yang ikut mendorong semangat patriotisme kaum
terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris,
sajak-sajak Kahlil Gibran yang ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan
pembacanya di berbagai negara, atau sajak-sajak cinta tanah air Moh Yamin yang
ikut mendorong tumbuhnya rasa cinta tanah air dan kesadaran akan pentingnya
memiliki bangsa yang merdeka. Dan, tentu juga terlihat pada sajak-sajak Abdul
Hadi WM yang ikut mendorong peningkatan kualitas kesalehan sosial dan spiritual
pembacanya.
Sajak berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat berikut ini cukup representatif
untuk menggambarkan komitmen dan orientasi estetik Abdul Hadi WM:
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti api dan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
Bila dibaca sepintas, sajak tersebut di atas terkesan sederhana, hanya
menggambarkan kedekatan penyair (Abdul Hadi WM) dengan Tuhannya, dengan metafor
api dan panas, kain dan kapas, serta angin dan arahnya. Tapi, kalau dikaji
secara intertekstual — dengan metode intertekstualitasnya Julia Christeva —
sajak tersebut dapat dikaitkan dengan konsep yang rumit tentang tasawuf.
Menurut Kristeva, intertekstualitas merupakan kunci untuk memahami
sebuah teks sastra secara lengkap. Dalam dua bukunya — Revolution in Poetic
Language (1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and
Art (1979) — Kristeva mengingatkan pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam
menafsir teks sastra.
Menurutnya, sebuah teks sastra diciptakan di dalam ruang dan waktu yang
konkret. Karena itu, selalu ada relasi antara suatu teks sastra dengan teks
lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks sastra dengan teks sebelumnya
di dalam garis waktu.
Puisi memang karya imajinatif — lahir melalui proses penciptaan yang
mengandalkan kemampuan pencitraan (imagery) tentang suatu pemikiran atau
perasaan tertentu. Tetapi, persoalan yang diangkat akan selalu berkait dengan
persoalan yang hidup di ruang dan waktu yang kongkret, yang mempengaruhi pikiran
dan perasaan penyairnya, serta keyakinan estetik â€" bahkan ideologi dan
keberagamaan — sang penyair. ( )